NAMIRA



“Memaafkan kadang mengingatkan tentang kenangan dan genangan.” Author

Surabaya waktu pagi menjelang pukul 07.00 WIB, sudah menunjukkan tanda kemacetan di seputar jalan Mer. Namira harus menunggu ojek langganannya yang baru dipesannya secara online. Pagi ini, Namira ada kuliah pagi di The International  of Guidance and Counseling University (IGCU) .Jilbab paris merah marun, atasan batik hitam dengan corak putih gading dipadukan dengan celana rok kain warna hitam serta sepatu kets polkadot menjadi pilihannya untuk ke kampus pagi ini. 

“Mba Mira ya?”

Go-jek yang ditunggu Namira datang sesuai pesanannya.  Namira mengangguk dan bersiap-siap naik ke motor. 

Setengah jam perjalanan, Namira tiba di kampusnya dengan terburu-buru. Namira ada tes pagi dan juga ada janji dengan dosen pembimbingnya untuk bertemu membahas penelitian yang akan Namira kembangkan.

“Naaamiraa.” Suara bas yang sangat Namira hafal pun menyapanya. Dia adalah Nandio, Laki-laki yang sudah lama Namira hindari karena keputusan sepihak Nandio tiga bulan yang lalu. saat ini Namira berada di semester tujuh, Nandio pun sudah bekerja di perusahaan milik Ayahnya. Namira dengar, saat ini Nandio sedang merintis kembali perusahaan Ayahnya di bidang Arsitek.

Namira memilih tetap berjalan ke arah gedung kampusnya. Tidak peduli seberapa besar suara teriakan Nandio memanggil namanya. Baginya Nandio adalah masa lalu, dan bagi Namira masa lalu yang diingatnya tidak akan bisa melanjutkan kenangan yang sudah lama Namira tinggalkan. Pantang baginya menyapa masalalu, cukup dijadikan rambu-rambu sebagai pengingat dirinya dijalan.

Lima menit waktu yang dipakai Namira untuk tiba di kelasnya. Namira memilih bangku paling depan.

“Ra, duduk di belakang sama gue aja.” sapa Ajeng yang datang duluan di ruangan kelas.

“Gue disini aja, jamnya Pak Budi harus konsentrasi, hehe.”

“Lulus itu pada waktunya ra, ga perlu tepat waktu. Kayak si babang Nandio.” Ajeng terkekeh. 

Namira hanya mengeleng-gelengkan kepalanya.

 

“Itu menurut lo, bagi gue semester tujuh itu adalah semester tua. kalo lo mau jadi mahasiswa abadi itu pilihan lo.”

Ajeng melirik kesal kepada Namira. Namira senang akhirnya dia bisa membalas perkataan Ajeng yang menyinggung masalalunya.

Nandio adalah sahabat mas Danu di AU. tiga tahun yang lalu Namira menjalin kasih dengan Nandio, orang yang tidak sengaja dikenalnya dari mas Danu. Pada akhirnya merubah kedekatan antara adik sahabatnya, menjadi kekasih adik sahabatnya. tiga tahun yang lalu adalah kenangan yang sulit untuk dilupakan Namira. 

Sayangnya cerita cinta Namira dan Nandio tidak bertahan lama, karena Nandio memutuskan Namira begitu saja tanpa kejelasan. Sedangkan Namira hanya bisa mengiyakan.

Dibalik itu ternyata ada cerita yang belum selesai dengan masa lalu Nandio. Hal itu membuat mas Danu membenci Nandio. Saat itu juga persahabatan antara Nandio dan mas Danu kehilangan arah. Bagi mas Danu sahabat bisa berubah menjadi sampah pada waktunya. Bagi mas Danu, Nandio adalah sampah yang memenuhi memorinya. 

Namun bagi Namira,  setelah kejadian tiga bulan yang lalu dihadapan mas Danu dan Nandio, tiga tahun yang dulunya adalah kebahagiaan berubah nama menjadi kenangan. Sekarang Nandio adalah folder di dalam hard disknya.  masih namira simpan rapi ,tapi tidak akan namira buka kembali. Bagi namira mengingat masalalu sama dengan mengingat hal yang sudah lama berlalu. Mengingat masalalu sama halnya dengan tidak bisa move up dari kenangan.

***

“Namira Wibisono.” suara itu datang lagi. Nandio Erlangga masih mencoba mencari celah untuk bisa berbicara dengan Namira. Namira diam dan tidak berbalik arah kepada Nandio.

“Ra, ini yang aku takutkan dulu. Kamu bukan hanya pergi dari aku,  tapi menutup semua akses untuk aku bisa tetap tau keberadaan kamu.” 

Nandio berjalan ke arah Namira, dan mengenggam paksa tangan namira untuk ikut ke mobilnya.

“Tiga bulan yang lalu, coba kamu ingat lagi isi percakapan antara mas Danu dan kamu di depan rumah. bagi saya sekarang kamu itu adalah orang asing, jadi kalo tiba-tiba kamu mengharapkan saya seperti dulu, Saya tidak mau kembali dengan masa lalu. Adanya saya disamping kamu atau tidak sama sekali itu tidak ada pengaruhnya sama kamu.” 


 

Namira mencoba melepaskan genggaman tangan Nandio, tapi tangan mungilnya sulit untuk melepaskan diri. Namira pun memilih diam tanpa melanjutkan kata-katanya lagi.

“Aku hancur ra, aku nyesel melepaskan kamu waktu itu“. 

Nandio  melepas genggaman tangan Namira lalu mengusap-usap kasar rambutnya sendiri.

“Itu bukan urusan saya”.

 Namira berjalan cepat.

“Tunggu ra, jum’at ini ada undangan di kantor rekan bisnisku. Kamu bisa ikut aku?”, Namira menoleh ke arah nandio.

´Bagi saya masa lalu itu kenangan, dan bagi saya kenangan itu adalah film. kalo saya masih melanjutkan kenangan itu berarti saya akan melanjutkan peran di film yang belum selesai”. 


***

Drama apik pun selesai dimainkan Namira di parkiran kampus, beruntungnya siang ini parkiran agak sepi. jadi tidak ada yang melihat dirinya diam-diam menangis.

Lima belas menit kemudian, Namira tiba di rumah. Kosong tidak ada mas Danu serta orangtuanya. Mas Danu sedang sibuk dengan bisnis barunya di Yogyakarta, sedangkan orangtuanya dalam kunjungan delegasi di Semarang.

Dua minggu ini, Namira sedang menyiapkan proposal skripsinya. Namira juga disibukkan dengan kerjaan parttimenya di toko kue onlinenya.  Akhir bulan ini, banyak pesanan yang menunggu untuk di kirim ke pelanggannya. Untuk mengalihkan pikirannya, Mira habiskan untuk membuat satu loyang cake proll keju.

Setengah jam, satu loyang cake proll keju selesai dibuat Namira. Menunggu kue nya dingin. Namira membuat saus untuk dijadikan pemanis kuenya. Terasa begitu cepat, lumayan menyita pikirannya yang begitu lelah untuk mengingat Nandio lagi. Laki-laki itu perusak moodnya. Tidak pernah terlintaspun dipikirannya selama ini untuk bertemu lagi dengan Nandio, bagi Namira masalalu adalah celah yang bisa mengagalkan etika berterimakasih dengan pikiran, perasaan dan hatinya. Tidak akan terulang lagi kenangan yang sudah di filter begitu telitinya. 


 

Namira baru saja mengantarkan pesanan kue pelanggannya. Waktu yang akan Namira gunakan setelah ini adalah berbelanja kebutuhan sehari-harinya. 

“Mira, mir..” suara laki-laki tidak berkeprimanusiaan itu datang lagi. 

Mira menghindar, berjalan cepat hingga tersandung belanjaan orang lain.

“Mbak, jalannya yang bener. Ini bukan jalanan mbaknya aja.” gerutu ibu-ibu muda itu. Namira hanya berusaha berkata-kata yang sopan, tidak mau gejolak untuk berkata-kata yang sinis meningkat. Namira salah, tapi ibu itu juga salah mnghentikan jalannya.

“Maafkan istri saya bu, istri saya buru-baru mau ke toilet.” lagi-lagi suara itu seenaknya mencampuri urusannya. 

Saat ini Namira hanya ingin pergi dari tempat ini. Namira berlari cepat namun Nandio masih mengikuti dari belakang. Namira tidak peduli, yang Namira inginkan sekarang adalah menemukan parkiran.

“Ra, jangan siksa aku gini ra. Aku minta maaf untuk kebodohan aku yang dulu, sekarang mari kita perbaiki tentang aku dan kamu. ” 

Nandio menyentuh ujung pundakku dengan tangannya. Namira belum berbalik, posisi Namira adalah konsisten . masalalu tidak bisa mengembalikan kepercayaannya. 

“Cukup. Jangan ikuti kemanapun saya akan melangkah. Tempat kamu di belakang saya dan ga bakal pernah jadi masa depan saya. Antara kamu dan saya sudah tidak ada yang bisa mengalah. Kalaupun kamu mau jadi masadepan itu bukan dengan saya tapi oranglain.” 

Namira berjalan lagi, Nandio berada di depan Namira.

“Lihat, sekarang aku uda di depan kamu.” Namira tertawa sinis.

“Orang bodoh yang mau mengulang masalalu lagi. Jangan harap saya mau kembali ke masa itu lagi.” 

“I see, kamu kecewa sama aku. Kamu terluka. Aku akan jelasin semuanya sekarang.” 

“Ga perlu, jangan membuka cerita yang sudah berlalu. Cukup diingat tapi tidak untuk dibagi lagi. Saya rasa kamu salah orang untuk mendengar kisah yang bagi saya tidak menarik untuk di pikirkan. Sudahlah, kembalilah kepada hal yang menjadi pilihan kamu di awal, rasa tidak enak dengan mas danu


lupakan saja, toh kalopun kalian bersahabat itu ga ada keterkaitannya sama saya. Sekarang kamu boleh pergi dan jangan ikuti saya lagi.” 

 

“Aku ga akan pergi sebelum kamu tahu kebenarnya.”

“Silahkan, ingat satu hal. jangan membuat celah di rumah oranglain. Karena penghuninya tidak suka kalo tempat tinggalnya yang damai terganggu dengan kebisingan tiba-tiba.”

“Namira, tolong jangan membuat drama.”

“Hei, pak, tolong diingat lagi yang baru kamu katakan!”

“Mira, maafkan aku. Untuk hal ini aku minta maaf atas segala dosa-dosa aku dimasalalu. aku minta ampun sama kamu.” 

Mira memicingkan mata lalu tertawa kecil.

“Saya bukan Tuhan, Tidak perlu meminta maaf dengan saya.” 


***

Malam datang, dijemput suara gaduh hujan dan petir yang saling bergantian. Seakan menertawakan peristiwa hari ini. Mira berdoa semoga ketika ia terbangun besok tidak akan teringat dengan laki-laki yang membuatnya tergenang masalalu.


Masalaluku adalah masalalu kita

Masalalumu juga adalah bagian dariku

Tapi tidak untuk diulang lagi

Kecuali Wasiat TUHAN