Deva adalah seorang pria muda yang tampan dan berbakat. Dia bekerja sebagai manajer pemasaran di sebuah perusahaan ternama di kota. Sejak kecil, Deva selalu merasa bahwa dirinya istimewa. Di sekolah, dia selalu menjadi bintang kelas, bukan hanya karena kecerdasannya tetapi juga karena karismanya yang memikat. Namun, di balik pesona itu, ada sisi lain dari Deva yang jarang diketahui orang. Deva mengidap Narcissistic Personality Disorder (NPD), sebuah kondisi di mana seseorang memiliki perasaan berlebihan tentang pentingnya diri sendiri dan kurang empati terhadap orang lain. Bagi Deva, dunia ini adalah panggung, dan dia adalah pemeran utamanya. Segala sesuatu harus berputar di sekelilingnya, dan siapa pun yang tidak setuju, dianggapnya sebagai ancaman.
Di kantor, Deva dikenal sebagai orang yang ambisius. Dia sering kali mengambil kredit atas pekerjaan timnya dan mengklaim bahwa kesuksesan perusahaan adalah hasil dari usahanya semata. Rekan-rekannya merasa terganggu, namun mereka takut untuk menegurnya karena khawatir akan dampaknya pada karir mereka. Deva sangat mahir dalam memanipulasi orang-orang di sekitarnya, membuat mereka merasa tidak berdaya dan tergantung padanya.
Suatu hari, perusahaan Deva mendapatkan proyek besar dari klien penting. Timnya bekerja siang dan malam untuk menyelesaikan proyek tersebut. Namun, saat presentasi akhir, Deva mengambil alih panggung dan menyajikan hasil kerja timnya seolah-olah itu adalah karyanya sendiri. Klien terkesan, dan perusahaan meraih kesepakatan besar. namun, di balik senyumnya yang puas, Deva merasakan kehampaan. Setelah pesta perayaan, dia pulang ke apartemennya yang mewah, tetapi sepi. Di dalam hati, Deva menyadari bahwa tidak ada seorang pun yang benar-benar peduli padanya, bukan karena mereka tidak mau, tetapi karena dia tidak pernah memberi mereka alasan untuk peduli. Deva duduk di depan cermin besar di kamarnya. Dia menatap bayangannya dan melihat seorang pria yang sempurna, tanpa cela. Namun, semakin lama dia menatap, bayangan itu mulai berubah. Dia melihat seorang pria yang kesepian, seorang yang haus akan pengakuan, tetapi tidak pernah merasa cukup. Cermin itu menunjukkan dirinya yang sebenarnya—seseorang yang rapuh di balik topeng keangkuhannya.
Dalam momen itu, Deva merasakan sesuatu yang jarang dia rasakan: keraguan. Untuk pertama kalinya, dia mempertanyakan pilihannya selama ini. Apakah benar kebahagiaan hanya bisa dicapai dengan menginjak orang lain? Apakah kesuksesan yang dia kejar selama ini benar-benar memberi kepuasan?namun, seperti biasanya, perasaan itu dengan cepat dia tepis. Dia tersenyum pada bayangannya di cermin, menguatkan dirinya bahwa semua ini hanyalah kelemahan sementara. Dia meyakinkan dirinya bahwa dia adalah pemenang, dan para pemenang tidak boleh meragukan diri sendiri. Deva bangkit dari kursinya, meninggalkan bayangan itu di cermin. Dia kembali ke dunianya, ke kehidupan yang penuh dengan sorak sorai kosong dan pujian yang tidak pernah bisa memuaskan dahaga egonya.
Tetapi di dalam cermin, bayangan itu tetap tinggal, menunggu saat ketika Deva kembali. Mungkin suatu hari nanti, ketika panggung itu akhirnya kosong, dan tirai telah diturunkan, Deva akan melihat kembali ke cermin dan menemukan jawabannya. Atau mungkin tidak.Sementara itu, Deva terus berjalan di atas jalur yang telah ia ciptakan untuk dirinya sendiri, jalur yang penuh dengan kekaguman palsu dan kesendirian yang abadi.
(dengan senyum lebar)
" Jadi, kalian pasti sudah dengar, kan? Aku akhirnya dipromosikan jadi kepala divisi pemasaran. Well, rasanya sih sudah sewajarnya, mengingat aku yang membawa perusahaan ini ke level berikutnya. kata deva dengan pongah.
"Selamat, Deva. Aku dengar proyek terakhir kalian memang sukses besar. Timmu pasti bekerja keras. kata raka menimpali deva yang sedang menyeruput kopinya dan tersenyum tipis"
(mengabaikan ucapan Raka)
"Ah, itu semua soal visi. Aku yang menata strategi dari awal sampai akhir. Kalau bukan karena ide-ideku, proyek itu mungkin hanya akan jadi proyek biasa. Aku selalu percaya kalau ada satu hal yang menggerakkan perusahaan ini, itu adalah aku. kata deva sombong"
"Aku yakin kamu memang berperan besar, Deva. Tapi, bukankah kerja tim juga sangat penting? Semua orang pasti ikut berkontribusi. kata lisa menegaskan dengan suara lembutnya"
"Oh, tentu. Mereka melakukan bagian mereka, tapi tetap saja, kalau tidak ada pemimpin yang kuat seperti aku, mereka tidak akan tahu harus ke mana. Kalian tahu sendiri kan, dalam sebuah orkestra, dirijenlah yang paling penting. Dan itulah aku."
(menatap Deva dengan cermat)
"Tapi, sebagai seorang pemimpin, bukankah seharusnya juga menghargai kerja keras tim? Mereka kan juga bagian dari kesuksesan ini. kata Raka serius"
"Aku menghargai mereka dengan memberi mereka kesempatan untuk bekerja denganku, Raka. Itu sudah lebih dari cukup. Lagi pula, kesuksesan ini pada akhirnya akan membuat mereka terlihat bagus juga, bukan? Jadi, semua orang menang." kata deva sambil mengangkat alisnya.
lisa mencoba mengganti topik. "Lalu, apa rencanamu selanjutnya, Deva? Setelah promosi ini, apa yang akan kamu lakukan?"
" Oh, aku sudah punya banyak rencana. Aku akan mengubah seluruh struktur divisi ini. Banyak yang perlu dirombak agar sesuai dengan visiku. Aku akan membuat semuanya lebih efisien, lebih cepat, dan tentunya, lebih terorganisir. Aku tidak sabar untuk melihat bagaimana semua orang akan bereaksi terhadap ide-ide brilianku. katanya bersemangat"
dengan nada hati-hati raka berkata, " Semoga semua berjalan lancar, Deva. Tapi ingat, perubahan besar juga bisa menimbulkan resistensi. Bagaimana kalau ada yang tidak setuju dengan rencanamu?"
Dengan penuh keyakinan deva berkata, "Siapa yang berani menolak? Mereka tahu siapa aku dan apa yang sudah aku capai. Kalau mereka tidak bisa mengikuti, mungkin ini bukan tempat yang tepat untuk mereka. Aku tidak punya waktu untuk mengurus orang-orang yang tidak mau maju.
"Deva, semoga kamu juga tetap memperhatikan perasaan orang "lain. Mereka pasti butuh waktu untuk menyesuaikan diri. kata lisa lembut."
Lisa menghela napas, merasa tidak sabar," Dunia ini penuh dengan orang yang lemah hati. Kalau kita selalu memikirkan perasaan orang lain, kita tidak akan pernah mencapai puncak. Aku tidak akan membiarkan hal itu menghambatku."
"Ya, semoga kamu benar, Deva. kata Raka dengan prihatin"
" Kami tetap mendukungmu, Deva. Tapi ingat, jangan lupa untuk melihat ke sekelilingmu, bukan hanya ke depan."
"Aku tahu kalian selalu ada di belakangku. Itu sebabnya aku tidak pernah khawatir. Aku sudah siap untuk menguasai dunia ini, dan aku tahu kalian akan terus mendukungku. Cheers untuk kita semua!"
( dan Deva tertawa kecil)
sambil mengangkat gelas, Cheers, Deva. kata raka dan lisa tersenyum
(Mereka semua mengangkat gelas, namun ada keheningan singkat yang tidak disadari Deva. Raka dan Lisa saling bertukar pandang, merasa khawatir dengan ambisi dan sikap Deva, tetapi tidak tahu bagaimana cara terbaik untuk menanganinya.)
0 Komentar