Seharian ini rasanya kepalaku terlalu penuh. Sesak dengan kebisingan yang tidak bisa ku bagi kepada orang lain. Nampaknya juga sekelilingku pun banyak yang bercerita kesana kemari dengan ceritanya sendiri-sendiri. Dan tidak ada juga keintiman dari cerita yang kudengar bisa ku relasikan dengan kebisingan dikepalaku.
Aku butuh diary yang bisa menyaksikan tanpa menyakiti diriku dan orang lain. Dan setelah kutulis akan ku buang ke tempat sampah. Karena bagiku kebisingan ini hanyalah sampah. 

Lelah ? Tidak.
Aku bukannya suka sepi, tapi aku terlalu peka untuk memahami rasa-rasa yang kadang kala membuatku lebih sering tidak enakan atau seringkali mengiyakan agar tidak memperpanjang pembicaraan yang cuma basabasi saja.

"Kamu kenapa lagi?" Kataku menimpali orang-orang yang sedang bercerita dengan mimik yang gemas.

" Lama-lama bosan ya begini terus, orang baik kelihatan buruk karena satu orang yang membuat ini rumit." 

Mereka adalah tetangga komplek rumahku, yang akan seperti ini setiap harinya bila ingin membeli lauk pauk di pertigaan sini. 

" Kamu aja rumit yu," kata kang sayur yang nimbrung sambil menyusun belanjaanku ke kantong plastik.

Aku masih mendengarkan. Cerita mereka ini rumitnya dimana? Bagiku ini bukan rumit namun dibuat-buat agar semakin pedas didengar.

" Ndak toh pak, ini cuma sedikit pengalaman. Ndak rumit. " Kata temanku sambil berekspresi serius.

"Ra usah mokso dan rumongso. Kita Ndak tau keadaan tiap keluarga bagaimana. Sawang sinawang, " kata kang sayur lagi.

Aku cuma tersenyum sambil menyelesaikan belanjaku dan pamit pulang. Membiarkan orang-orang ini melanjutkan cerita yang belum ada ujungnya.

Sepanjang perjalananku menuju rumah, kendaraan lalu lalang, jamnya anak-anak di antar ke sekolah.

"Kamu jalan jangan sambil melamun," kata suamiku yang sedang mencuci motornya sebelum ke kantor.

Aku tersenyum dan mengangguk. Aku memang tidak banyak bercerita sesuatu yang
Bagiku tidak layak di ceritakan. Bukan berarti aku tidak percaya suamiku. Cuma bercerita bagian hal yang melelahkan. 

Karena bisa jadi orang yang kita ajak bercerita cuma manipulasi dibelakang kita. Padahal yang kita butuhkan adalah orang yang mau mendengarkan kita apa adanya, merespon semampunya tapi bukan menghakimi atau pun menggurui.

"Kamu kebiasaan deh, ada aku ya cerita," kata suamiku memeluk ku dari belakang. 

" Enggak mas, cuma sedang ingin seperti ini," kataku sambil melepas pelukannya. 

" Bercerita adalah paketnya mendengar," katanya lagi sambil mencomot tempe goreng yang masih hangat-hangatnya.

"Memang, tapi disini isinya sampah. Kamu bukan tempat sampah yang ada di kepalaku," kataku sambil tersenyum.

"Lalu, apa yang bisa kulakukan membersihkan sampah yang ada disini?" Tanyanya sambil memegang kepalaku.

"Cokelat," kataku sambil tersenyum. Dan diapun kebingungan dengan jawabanku yang singkat.

" Oke, tunggu aku 5 menit. Semoga setelah ini kamu bisa kembali ke mode normal. Aku kurang suka kamu yang seperti ini, seolah-olah tidak punya siapa-siapa. Padahal aku adalah teman hidupmu."

Aku mengangguk dan dia berjalan ke buffet mengambil kunci motor berjalan ke garasi rumah untuk pergi ke Alfamart membeli cokelat yang ku minta tadi.