Kurang lebih tiga pekan ini intensitas curah hujan sangat menakutkan. Tingginya kuantitas hujan, dan tidak adanya sumur resapan air akhirnya menganggu aktivitas masyarakat yang ada di permukiman kami tinggal. Khususnya untuk daerah rumahku ini. Jalan-jalan yang berlubang sudah seperti kolam saja, sedangkan sekarang sudah mulai masuk sekolah seperti biasa. Alhasil akan banyak yang menjadi pengangguran lagi karena banjir. Padahal, pandemi ini saja sudah banyak membuat orangtua teman-temanku kehilangan pekerjaan. Termasuk ayahku.

Masa pandemi covid 19 ini entah kapan berakhirnya. WFH ini sudah melelahkan semua pihak. Orangtuaku sudah banyak mengeluh karena aku tak kunjung tatap muka seperti biasanya. Padahal guru yang ku tanyapun ingin sekali mengakhiri masa pandemi ini dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Tapi yang perlu disadari kembali guruku bukanlah Tuhan, namun aku tetap berharap besar semoga ada solusi untuk pandemi ini. 

Daring jadi garing beberapa saat ini karena banyak faktor yang mempengaruhinya. Salah satunya adalah kuota dan keterbatasan kualitas android yang ku punya. Satu tahun  Ayahku tidak bekerja karena sepi pelanggan di bengkelnya. Sedangkan Ibuku hanya ibu rumah tangga, yang sekarang pekerjaannya adalah menjadi buruh cuci untuk membantu ekonomi keluargaku.

Kadang melihat berita di tv hanya membuatku takut. Takut kehilangan ibu dan ayahku. Takut kami tidak bisa bersama lagi. Takut putus sekolah. 

"Mbak, kesini sebentar " ibuku memanggil dari dapur. Ku lihat ibu sedang menggoreng tempe untuk lauk makan malam kami.

"Ada yang bisa niar bantu Bu?" Ya betul namaku adalah niar, usiaku baru mau 17 tahun bulan depan. 

" Tunggu sebentar ya disana" kata ibu sambil menunjuk meja makan disebelah ruang tamu. Aku mengangguk dan berjalan kesana.

Beberapa menit kemudian.

"Mbak, kata ibunya Chaca besok sudah masuk sekolah lagi?" Tanya ibu kepadaku.

"Iya Bu, besok sudah masuk sekolah tapi masih gantian. Aku menatap ibu, ingin tau apa isi kepala ibuku sekarang.

"Mbak, kata Ibunya Chaca, besok juga pembagian jadwal PSG ya?" 

Aku mengangguk

"Mbak, nanti kalau kamu dengar omongan orang lain tentang kami tolong kamu tutup telinga. Percayalah kepada ibu dan ayah, apa yang kami lakukan selama ini adalah untuk kebahagiaan kamu". 

Aku masih bingung mencerna kata-kata ibu tadi. Aku cuma mengangguk saja dan pikiranku bercabang tak ada kepastian, sepertinya keadaan mengajak ku segera dewasa dengan cepat. 

                                    ***

Semalaman aku mikir , ada apa dengan ibuku. kenapa beliau sekhawatir itu denganku. Rasanya hari ini begitu panjang. Kantukku tidak kunjung datang, padahal mataku sudah lelah ingin istirahat.

Kulirik androidku yang sudah menunjukkan jam 00.00 Wib. Waktu cepat sekali berputar,tapi aku tak kunjung mengantuk juga.

Ku beranjak dari tempat tidur, kemudian ku buka pintu kamar dan berjalan menuju dapur. Perutku lapar, minta makan. Ku lihat tak ada telur, mie instan dan nasi. 

Akhirnya ku putuskan untuk kembali ke kamar.

"Belum tidur mbak?"

"Belum". Ku lihat wajah lelah Ayah yang baru mau istirahat.

"Tidur mba, besok sekolah kan". Begitu kata Ayah sambil masuk ke kamar.

Aku mengangguk.

Pagi ini kantukku muncul, (kesal).

Kenapa tidak semalam saja datangnya. Aku lekas bangun dan menarik handuk lalu berjalan ke kamar mandi. Ibu dan Ayah entah kemana, rumah ini sepi. Ah, mungkin kerja. Aku berpikiran positif seperti biasanya.

Selesai mandi, aku bergegas berpakaian, lalu sarapan. Walaupun ibu cuma masak telor ceplok pagi ini, terasa nikmat sekali. Mungkin efek ku menahan lapar semalaman. 

Semoga hari ini rezeki Ibu dan Ayah lancar Ya Allah. Semoga aku kuat menghadapi hari ini.

Perjalanan ke sekolah ternyata tak semudah itu. Jarak ke sekolah dan rumah tidak jauh, namun yang menghalangi jalanku adalah suara wanita yang sedang berghibah di warung itu.

"Eh, sudah dengar kabar terbaru ibu-ibu" , suara perempuan paruh baya sedang berbicara dengan kumpulan ibu-ibu yang sedang memilah-milah sayur dan lauknya.

Ku dengar lagi, ada yang menanggapi disana.

"Pasti mau bahas Bu Lina kan? Benar begitu kan mbak yu". Wajahku mengeras, hatiku mendesir, Bertanya-tanya ada apa dengan ibuku.

"Bu Lina mau jadi TKW ?" Sambung salah satu ibu-ibu disana.

"Hahaha, enggak lah. Masa ga tau si ibu-ibu. Padahal beritanya uda kemana-mana loh". Aku berhenti bersandar di salah satu pohon kelapa dekat warung Bu Maya. Menguping apa inti cerita mereka pagi ini.

"Bu Lina mau jual rumah mereka". Aku ingin menangis, memikirkan nasib kami sekeluarga. Aku ingat pesan ibu kemarin, kalau mendengar berita tentang ibu, aku harus percaya sama ibu. Apa yang harus ku percaya? Kami akan pindah rumah. Lalu sekolahku bagaimana? Berat sekali hari ini.

                                  ***

" mbak" 

Itu adalah suara ibuku. Bu Lina Setyowati, ibu yang melahirkan dan membesarkarku. Wanita paru baya yang menanggung beban hidup dari kecilnya. Ku tatap wajahnya, kantung mata begitu jelas terlihat, flek hitam, kerutan jadi satu. Sudah lama sekali aku tidak memperhatikan ibu se-detail ini.

" Dalem Bu".

"Mbak, kok sudah pulang?" Tanyanya kembali. 

"Mba ga jadi ke sekolah Bu". Kataku sambil memainkan karet gelang di jariku.

" Mbak sakit?" 

" Enggak Bu, tenang saja".

" Kenapa Ndak sekolah?"

" Niar boleh tanya Bu?". Aku gugup untuk bertanya ini, tapi tanda tanya itu membuatku penasaran.

Ibu menghela nafas, seakan pertanyaanku ini seperti beban untuknya.

"Mbak sudah dengar ya". Sambil menghela nafas lagi.

"Ibu Ndak mau berhutang. Lebih baik rumah ini dijual dan kita bisa tinggal dirumah nenek untuk sementara". Begitu kata ibu menjawab rasa penasaranku.

" Sekolah niar bagaimana bu?"

" Pindah mba. Jangan marah ya, mbak tetep sekolah kok. Kami sudah mulai mengurus kepindahan kita dan kepindahan mbak di sekolah baru. " Aku masih tetap mendengarkan penjelasan ibu yang sangat berhati-hati menjelaskan kepadaku. 

Takdir sudah berjalan seperti ini, aku mau merubahnya pun tidak akan pernah bisa. Karena ibu dan ayah sudah berusaha kuat setahun ini untuk keluarga ini.

"Ibu minta maaf, harus mengatakan ini di waktu yang tidak tepat". Aku hanya mengangguk dan tersenyum kepadanya, aku tak ingin berontak. Aku ingin mengurangi beban ibu dan Ayah.

"Lalu Ayah bagaimana Bu?"

"Ini hasil kesepakatan Ayah dan ibu. Uang hasil jual rumah ini akan dibuat usaha dan sebagiannya di tabung". Aku mengelus pundak ibu dan memeluknya.

"Sehat-sehat ya ibu dan Ayah. Niar sayang kalian, maaf Niar gak bisa bantu apa-apa".

"Belajar , buat ibu dan Ayah bangga". 

Aku mengangguk dan memeluk ibu, sama-sama saling menguatkan. 

                                       ***

Hari ini, Selasa 20 Februari 2021 rumah ini sudah terjual. Ayah sudah serah terima dengan pemiliknya yang baru. 

Rasanya tak tentu hati ini. Tapi bagaimana pun aku harus menerima keputusan mereka. Demi kehidupan yang lebih baik katanya. 

"Mbak" 

"Iya Yah". Aku memang jarang bicara dengan Ayah, Karena Ayah jarang dirumah. Bertemu Ayah cuma malam itupun kalau mau tidur saja.

"Maafin Ayah ya" 

Aku tersenyum kearah Ayah, " ini bukan salah Ayah atau ibu". Kataku lagi.

Kulihat ada wajah lega di mata Ayah. Setidaknya aku tidak mau menambah beban untuk mereka.

Aku bersyukur orangtuaku bukan tipe penghutang. Jadi hasil penjualan rumah kami tidak sia-sia dan bermanfaat untuk yang akan datang.

Ya Tuhan, kuatkan punggung orangtuaku. Lelah mereka tidak pernah di rasa, perjuangan mereka semoga membuahkan hasil di tempat yang baru. 

" Ga ada yang ketinggalan kan mbak?" Tanya ibu kepadaku.

" Insyaallah Ndak ada bu."

Tumpukkan kardus sudah berderet-deret menunggu jemputan travel yang akan membawa kami ke kampung halaman ibuku. Sebenarnya rumah yang kami tinggali sekarang adalah warisan dari almarhum kakekku dari Ayah. 

Agak keberatan, tapi demi ketenangan batin kami sekeluarga. Pilihan menjual rumah ini adalah keputusan final. Untungnya Ayahku anak tunggal, sama sepertiku. Jadi tidak akan ada drama keluarga yang memaki-maki keluargaku karena menjual rumah warisan. Kehidupan kami yang seperti ini saja masih di maki, padahal orangtuaku bukanlah tipe orang yang suka ikut campur urusan tetangga. 

Ya memang benar pada akhirnya. Kita tidak bisa mengontrol Mulut oranglain untuk berbicara tentang kita. Tapi cuma kita yang paham bagaimana mengontrol Mulut sendiri agar tidak tersulut emosi sesaat.

Beberapa menit kemudian travel pesanan ayah sudah datang, Alhamdulillah supirnya ramah. Mau membantu mengangkat tumpukan kardus yang akan kami bawa. 

" Tidurlah, perjalanan kita lumayan jauh mbak." Begitu kata ayah ketika aku membantu mengangkat kardus terakhir ke mobil. 

Aku mengangguk, dan mengambil posisi di sebelah jendela. Tempat favoritku ketika naik mobil siapapun. Ibu dan ayah duduk berdampingan disini kananku. Mereka berpegangan tangan seperti saling menguatkan satu sama lain. 

Kuatkan kami Tuhan, berikan hati yang lapang untuk kami menerima keadaan ini.

Mobil sudah mulai berjalan, ku tatap rumah kakek untuk yang terakhir kalinya. Selamat tinggal kenangan, semoga kamu tetap terawat dan terjaga dengan Tuanmu yang baru.

Catatan : sudah di bukukan